Tragedi Tolikara dan Sikap Kita

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 18 Juli 2015

Ilustrasi. Sumber Foto: www.republika.co.id
Hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 17 Juli 2015 (1 Syawal 1436 H) dirayakan serentak oleh mayoritas muslim di Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Namun sayangnya, “kesyahduan” Idul Fitri tahun ini telah terusik akibat tindakan anarkis-radikal oleh pihak-pihak yang tidak paham atau bahkan “anti toleransi”. Minoritas muslim di Kabupaten Tolikara telah “ditindas” secara “brutal” oleh sekelompok anak bangsa yang menyebut diri sebagai Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Bagi para pelaku, atau pun pihak-pihak lain yang pro pada tindakan “barbarian” ini tentu akan tersenyum lebar, karena telah berhasil membuat umat Islam “kocar-kacir” dan shock. Namun bagi umat Islam, tidak hanya di Tolikara, tetapi di seluruh penjuru negeri, akan menganggap tindakan “primitif” tersebut sebagai sebuah tragedi yang telah “melukai” kaum muslimin. Tragisnya lagi, aksi yang jauh dari nilai-nilai peradaban modern tersebut terjadi pada “hari suci” dan bahkan “sakral”.

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah berhasil membuat berita yang sedianya hanya diketahui oleh beberapa orang tersebut tersebar luas bak “virus” dan menjadi konsumsi publik, hanya dalam hitungan detik. Jika tragedi ini terjadi di masa lalu, bukan tidak mungkin ia akan tenggelam dalam pusaran masa akibat “mandulnya” media-media mainstream yang dikekang oleh “rezim otoriter” – atau pun disebabkan oleh kehendak mereka sendiri (media) yang memilih berkonspirasi dengan penguasa. Alhamdulillah, kemajuan teknologi saat ini telah berhasil “mencerdaskan” keawaman publik yang dulunya “miskin” informasi. Tidak ada lagi yang bisa ditutupi di zaman ini, di mana arus informasi mengalir deras menyisir lorong-lorong sepi di seluruh penjuru negeri.

Dari Surat sampai Speaker

Pasca kejadian di Tolikara, media pun berlomba-lomba menyajikan berita yang kemudian ditanggapi secara beragam oleh publik. Kononnya, sebelum tragedi itu terjadi, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) pernah mengeluarkan surat tentang pelarangan shalat Ied dan juga pelarangan kaum muslimah memakai jlbab di Kabupaten Tolikara. Jika surat ini benar adanya, maka tindakan GIDI telah mendobrak konstitusi RI, di mana dalam UUD 1945, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah telah diatur dan harus ditaati oleh setiap anak negeri. Jangan sampai hanya karena ingin mempertahankan hegemoni mayoritas lantas mencabik-cabik konstitusi.

Aceh sebagai provinsi yang dihuni oleh mayoritas muslim dan bahkan telah mendapat izin dari UU untuk melaksakan syariat Islam secara kaffah justru sangat menghargai keberadaan pemeluk-pemeluk agama lain seperti Kristen dan Budha. Saya menyarankan kepada pihak GIDI untuk sesekali “piknik” ke Aceh agar bisa melihat bagaimana kaum muslimin di Aceh menghargai dan memperlakukan non muslim secara terhormat.

Kabar lainnya menyebut bahwa aksi pembakaran mesjid di Tolikara disebabkan oleh suara speaker. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap apologis yang cenderung tidak rasional dan terlalu dipaksakan guna melakukan justifikasi terhadap ektrimisme. Yang penting dilakukan saat ini bukanlah mencari kambing hitam, tetapi penegakan hukum dengan menangkap para pelaku. 

Di sisi lain, tragedi Tolikara juga telah mengguncang para “penghuni” dunia maya. Pasca tragedi tersebut, media sosial pun dipenuhi dengan beraneka komentar yang jika “dibulatkan” akan bermuara pada empat sikap. Pertama, sikap “apatis” dan mengabaikan realitas yang terjadi, bahkan menjadikan kasus tersebut sebagai bahan “olok-olok” terhadap umat Islam. Kelompok ini diwakili oleh Ulil Abshar Abdala Cs yang kononnya telah menelurkan komentar “sinis” di akun twitternya. Kedua, sikap mengecam dan mengutuk tindakan GIDI di Tolikara serta mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap dengan menangkap para pelaku dan aktor intelektualnya. Ketiga, sikap permusuhan dengan cara melakukan progaganda kecil-kecilan di media sosial guna melakukan pembalasan terhadap tindakan “brutal” yang dilakukan oleh GIDI. Secara psikologis, sikap ini pada prinsipnya tidak dapat disalahkan seratus persen, karena hal ini merupakan refleksi solidaritas sesama muslim, dan tidak bisa pula dibenarkan sepenuhnya karena “kekacauan” akan bertambah parah. Keempat, sikap pasrah pada keadaan (jabariyah).

Sebelum melakukan analisis singkat terhadap keempat sikap di atas, di sini saya ingin mengutip tulisan Hamka yang dalam pandangan saya sangat relevan. Hamka dalam bukunya Tasauf Modern menulis tentang manusia: “tidak buas, sebab kebuasan itu sifat singa dan harimau; tidak kejam, sebab kejam itu sifat beruang; tidak mau dihinakan orang, sebab suka menerima hinaan orang itu sifat anjing, sedangkan anjing pun kalau senantiasa diganggu akan menggigit”. 

Berdasarkan penjelasan Hamka, saya melihat bahwa sikap pertama, kedua dan ketiga cenderung “ekstrim”. Sikap abai, apatis dan pasrah pada keadaan adalah sikap ekstrim ke dalam, artinya sikap ini dapat melemahkan umat Islam dan juga bisa merusak rasa solidaritas sesama muslim. Adapun sikap “permusuhan” adalah sikap ekstrim ke luar, artinya, jika sikap ini dipaksakan maka akan merusak “tatanan” dan memperparah konflik. Saya melihat sikap kedua sebagai sikap “moderat” yang relevan untuk diterapkan. Artinya, sebagai seorang muslim kita sangat menyesalkan dan bahkan mengecam tindakan brutal yang dilakukan terhadap saudara-saudara kita di Tolikara. Tapi proses penegakan hukum dan penyelesaian tragedi Tolikara kita serahkan kepada negara melalui perangkat-perangkatnya. 

Dalam hal ini, negara harus bersikap adil dan objektif. Jangan hanya karena ada segelintir umat Islam yang “nakal” lantas dicap sebagai teroris, ekstrimis dan radikalis. Tapi ketika aksi-aksi serupa dilakukan oleh non muslim justru disebut sebagai “efek speaker”. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Rubrik Wacana Republika Online dalam Tragedi Tolikara (1) dan Tragedi Tolikara (2) 
loading...

No comments