“Mensyari’atkan” Media

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 12 Mei 2015



Dalam bukunya, Amirul Hadi (2010: 244) menyebutkan bahwa tidak diketahui dengan jelas sejak kapan pertama kalinya Syari’at Islam dilaksanakan di Aceh. Namun yang pasti, ketika Islam masuk ke Nusantara, termasuk Aceh, maka seiring dengan hal tersebut terbentuklah sebuah “komunitas Islam” yang selanjutnya menjelma menjadi kesatuan politis yang dikenal dengan istilah Kerajaan Islam, seperti halnya Kerajaan Aceh, Kerajaan Peureulak dan Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan-kerajaan dimaksud telah berperan secara aktif dalam melakukan Islamisasi di Aceh dengan mengadopsi dan mengadaptasi Islam yang datang dari Timur Tengah sehingga menjadi sebuah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Aceh sampai dengan saat ini.

Pasca kemerdekaan Indonesia, isu tentang syariat Islam kembali mencuat dengan diprolamirkannya Darul Islam (DI TII) oleh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh pada 21 September 1953. Sikap “tidak bijak” yang ditunjukkan oleh Soekarno waktu itu telah membuat Abu Beureu-eh geram, sehingga beliau mengangkat senjata dan bercita-cita menghapuskan kekuasaan Pancasila di bumi Aceh. Terlepas dari adanya isu-isu lain yang menjadi pemicu pemberontakan tersebut, seperti isu peleburan provinsi Aceh, namun isu syariat Islam merupakan isu yang sangat menonjol kala itu.

Pada perkembangan selanjutnya, meskipun tidak seheboh masa DI TII, isu syariat Islam juga sempat dijadikan slogan oleh Gerakan Aceh Merdeka guna menarik simpati masyarakat Aceh. Namun seiring perjalanan waktu, isu syariat Islam ala Aceh Merdeka tersebut “tenggelam” dalam “semangat keacehan” (etnis) dan akhirnya “bermetamorfosis” dalam idiologi “Nasionalisme Aceh” – yang oleh Damanik (2010) disebut sebagai etno-nasionalisme.

Formalisasi Syariat Islam di Aceh 

Rusjdi Ali Muhammad (2003: xxv) menyebutkan bahwa pemberian hak untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh merupakan perwujudan dari UU RI No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan otonomi khusus Aceh yang meliputi empat bidang, yaitu; penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. UU RI No. 44 tahun 1999 ini kemudian dijabarkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di NAD dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus NAD. Dengan adanya undang-undang ini maka keistimewaan Aceh khususnya di bidang agama kini sah untuk dijalankan. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut akhirnya lahirlah berbagai qanun syariat Islam, seperti Qanun Maisir, Qanun Khalwat dan Qanun Khamar.

Pada perkembangan selanjutnya, secara perlahan syariat Islam mulai diterapkan di Aceh. Penegakan hukuman cambuk terhadap para pelanggar syari’at Islam untuk pertama kalinya dilaksanakan di Kabupaten Bireuen pada akhir Mei 2005. Ketika itu Mahkamah Syariah Bireuen menghukum 15 pria lantaran melanggar Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi). Para pelanggar syariat tersebut dicambuk di halaman Mesjid Agung Bireuen di hadapan ribuan masyarakat. Prosesi eksekusi tersebut turut dihadiri oleh Plt Gubernur Aceh Azwar Abubakar dan Bupati Bireuen saat itu, Mustafa Geulanggang.

Media dan Syariat Islam

Di usianya yang telah memasuki 13 tahun, pelaksanaan syariat Islam di Aceh belum menunjukkan tanda-tanda menggemberikan. Dalam 13 tahun terakhir, penerapan syariat Islam di Aceh masih bersifat parsial dan bernuansa “simbolik”. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh baru menyentuh beberapa aspek saja. Target penerapan syariat Islam secara kaffah, nampaknya masih jauh dari harapan. Namun demikian, berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk “membumikan” syariat Islam di Aceh patut diacungi jempol, meskipun upaya tersebut belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Kita sadar bahwa untuk menegakkan syariat Islam secara komprehensif (kaffah) tidak-lah semudah membalik telapak tangan, tapi butuh perjuangan panjang agar “mimpi” itu bisa terwujud.

Dalam amatan penulis, salah satu aspek yang sampai saat ini tidak tersentuh oleh syariat Islam adalah media. Sebagai sarana informasi publik, seharusnya media yang ada di Aceh juga mesti “disyariatkan” agar sejalan dengan visi dan misi syariat Islam itu sendiri. Terbentuknya Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Aceh merupakan isyarat adanya keberpihakan dari para “kuli tinta” terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun demikian kita berharap, keberadaan KWPSI tidak hanya pada tataran teori dan konsep semata. Hendaknya KWPSI tidak hanya “terjebak” dalam diskusi-diskusi “pasif”, tapi juga harus menjadi sarana aksi dalam “mensyariatkan” media yang ada di Aceh.

Sepanjang pengamatan penulis, hampir semua media yang terbit di Aceh masih “mengabaikan” etika Islam dalam penyajian berita. Fenomena ini dapat kita temui dalam penyajian berita dan visual oleh beberapa media di Aceh yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, sehingga tidak ada bedanya media yang terbit di Aceh yang telah digelari sebagai “negeri syariat” dengan media di luar Aceh. Beberapa media di Aceh sampai saat ini masih menggunakan bahasa-bahasa “kurang etis” dalam menyajikan berita. Sekedar contoh, sebuah berita di koran lokal yang bertajuk “Warga Tangkap Agam Ramah Mom”, demikian juga dengan tajuk “Berebut Inong, Polisi Gigit Mak Akob”. 

Kita paham, bahwa bagi “insan media”, judul berita merupakan “jimat” ampuh untuk memikat pembaca. Namun demikian, hendaknya pencantuman judul dan kalimat dalam berita harus diselaraskan dengan semangat syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh. Kalimat “ramah mom” dan “mak akob” tentunya sangat tidak sehat alias tidak mendidik pembaca. Bahkan, jika ditelisik secara khusus, istilah “mak akob”, selain tidak etis, juga mengandung penghinaan terhadap “orang-orang suci”, yaitu Muhammad dan Ya’qub yang kedua orang tersebut telah dimuliakan oleh Allah dan namanya telah diabadikan dalam Al-Quran. 

Di sisi lain, media kita di Aceh, khususnya media cetak, sampai saat ini juga masih menampilkan gambar-gambar yang antagonistis dengan semangat syariat Islam. Penampilan wanita dengan aurat terbuka masih terpampang bebas di beberapa koran lokal. Penulis sempat membayangkan, bagaimana jadinya jika wanita-wanita seksi itu “berkonvoi” di jalan raya, atau nongkrong di warung kopi, tentunya dengan sigap, petugas Wilayatul Hisbah akan “menjaring” mereka. Nah, jika di kedai kopi atau jalan raya berpakaian seksi diharamkan, lantas kenapa di media perilaku tersebut justru menjadi “halal”? Apakah tidak paradoks? 


Sebagai media yang terbit di “negeri syariat”, seharusnya pihak media tidak hanya mempertimbangkan faktor “estetis” dalam penyajian berita dan visual, tapi juga harus memperhatikan faktor “etis”. Wallahul Musta’an.

Artikel ini juga bisa dibaca di khairilmiswar.com
loading...

No comments