Mata Rantai Dinasti Politik

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 24 Oktober 2013

Ilustrasi. Sumber Foto: nasional.kompas.com
Baru-baru ini beberapa media di Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan terkait “Dinasti Politik” yang dipraktekkan oleh Gubernur Atut di Banten. Isu tersebut terus bergulir dan menghiasi berbagai surat kabar, tidak hanya di tingkat Nasional, namun juga dipublis oleh koran-koran lokal, baik media cetak maupun elektronik. Terbongkarnya praktek “Politik Dinasti”, bermula dari tertangkapnya adik Ratu Atut bernama Wawan oleh KPK. Berawal dari Atut, beberapa waktu lalu Mendagri Gamawan Fauzi juga memberi informasi kepada publik terkait sejumlah kepala daerah di Indonesia yang terindikasi memainkan “Politik Dinasti” di daerahnya (merdeka.com).

Terungkapnya “Dinasti Politik” yang dimainkan oleh Atut di Banten ditanggapi secara beragam oleh tokoh-tokoh di negeri ini. Ada sebagian pihak, di antaranya tokoh-tokoh dari Partai Golkar yang malah memuji kepemimpin Atut di Banten dan malah Atut dinilai sebagai seorang tokoh yang sukses memimpin Banten. Tidak hanya itu, bahkan ada yang menganggap kesuksesan Ratu Atut melebihi keberhasilan “Ratu Balqis”. Namun demikian, ramai pula tokoh politik yang menyebut kemunculan “Dinasti Politik” sebagai sebuah bukti “gagalnya demokrasi” di Indonesia. 

Terlepas dari pro-kontra tersebut, berbagai wacana pun berkembang terkait dengan praktek “Dinasti Politik” yang terungkap baru-baru ini. Gamawan Fauzi menyatakan akan melakukan langkah-langkah dalam rangka mencegah timbulnya “Dinasti Politik”. Salah satu instrumen untuk mencegah berkembangnya “Dinasti Politik” yang selama ini didengungkan oleh sebagian pihak di Indonesia adalah melalui produk undang-undang – dengan menjadikan “azas kepatutan/etika” sebagai dasar pelarangan/pembatasan “Dinasti Politik” di Indonesia.

Meskipun ada sebagian pihak di Indonesia yang menilai bahwa “Dinasti Politik” sah-sah saja jika dinasti tersebut tidak mempraktekkan KKN, namun hemat penulis keberadaan “Dinasti Politik” apapun alasannya harus dihentikan di Indonesia. Mengingat, efek negatif dari keberadaan “Dinasti Politik” lebih besar dan sangat rawan terjadinya praktek KKN, apalagi jika dinasti tersebut telah berlangsung turun-temurun.

Tanpa menafikan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh para tokoh di negeri ini, namun menurut penulis, hal terpenting yang harus dilakukan dalam rangka menghindari munculnya “Dinasti Politik” adalah dengan membunuh benih-benih “Politik Dinasti” yang dipraktekkan oleh tokoh-tokoh politik di Indonesia. Menurut hemat penulis, “Dinasti Politik” tidak akan pernah ada di dunia ini tanpa di dahului oleh “Monopoli Politik” yang dipraktekkan oleh “Preman-Preman Politik” bermuka munafik.

Aksi preman politik yang terjadi di negeri ini sangat beragam, mulai dari “money politik” oleh politisi berduit, “intervensi politik” dari pemangku kekuasaan sampai dengan “kekerasan politik” yang dipraktekkan oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia. Preman-preman politik itulah yang memainkan “Monopoli Politik” dengan trik mereka masing-masing yang pada akhirnya melahirkan sebuah skenario besar untuk mengekalkan “kekuasaan”. Jika aksi-aksi preman politik ini tidak dibatasi, maka kemunculan “Dinasti Politik” di Indonesia tidak akan dapat dibendung. Memutuskan mata rantai “Politik Dinasti” adalah hal terpenting yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar kesejahteraan rakyat dapat tercapai.

Dalam pandangan penulis terminologi “Politik Dinasti” tidak hanya terbatas pada pengertian “Politik Kekeluargaan”, tapi harus ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas. Model “Politik Dinasti” yang dipraktekkan oleh Atut adalah salah satu model “Politik Dinasti” bernuansa “kekeluargaan”. Sedangkan di luar sana, apabila ditilik masih banyak model “Politik Dinasti” lainnya, di antaranya “Politik Dinasti” yang bernuansa “kepartaian” – di mana dalam sebuah daerah (provinsi) legislatif dan eksekutif dikuasai penuh oleh kekuatan “satu partai” politik. Ironisnya lagi ada provinsi di Indonesia di mana Gubernur dan Ketua DPR-nya berasal dari satu partai dan tragisnya lagi mereka adalah “adik-abang” (satu keluarga). Tentang provinsi yang penulis sebutkan terakhir ini, menurut penulis ada dua bentuk “Dinasti Politik” yang sedang dibangun, yaitu “Dinasti Politik” bernuansa “kepartaian” dan “Dinasti Politik” berlandaskan kekeluargaan.

Fenomena “Politik Dinasti” sebagaimana penulis sebutkan di atas tentu sangat berbahaya dan rawan terjadinya penyimpangan dalam pemerintahan. Jelasnya dapat disimpulkan bahwa keberadaan “Dinasti Politik” di Indonesia, meskipun terlahir dari sebuah proses demokrasi (pemilu), namun pada akhirnya akan membahayakan demokrasi itu sendiri. Di mana ketika dinasti tertentu telah menguasai setiap level pemerintahan, maka akan sangat berpengaruh terhadap perumusan setiap kebijakan pemerintah yang pada akhirnya akan merugikan publik.

Keberadaan “Dinasti Politik” juga berpotensi besar terhadap terjadinya berbagai praktek korupsi terselubung dan nepotisme terstruktur dalam pemerintahan. Bayangkan saja jika dalam satu provinsi, DPR dan para bupati/walikota dijabat oleh orang-orang satu partai, apa yang akan terjadi? Tentunya praktek “Politik bagi roti” tidak akan dapat dihindari. Keterlibatan publik dalam memantau pemerintahan juga akan terbatasi. Di samping itu harapan-harapan publik terhadap pemerintah juga akan terabaikan disebabkan daerah tersebut telah dikuasai secara penuh oleh satu kekuatan politik besar. 

Akhirnya, rakyat hanya akan menjadi penonton terhadap opera yang dimainkan oleh pemerintahan “Dinasti Politik”. Secara perlahan spirit demokrasi juga akan hilang tenggelam dalam pusaran “Politik Dinasti”. Lantas bagaimana nasib rakyat? Wallahu A’lam.
loading...

No comments