Idul Fitri dan Pemimpin Baru

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 08 Agustus 2014

Sumber Foto: bisnis.liputan6.com
Dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat pada 27 Juli lalu, berakhir pula Ramadhan 1435 H. Kemunculan hilal menjadi sinyal bagi kaum muslimin seluruh dunia bahwa 1 Syawal akan segera tiba. Semarak hari raya diawali dengan lantunan takbir pasca shalat Maghrib yang dilanjutkan dengan pawai takbiran di sepanjang jalan negara. Tak hanya tabuhan beduk dan gemuruh takbir, dentuman mercon dan percikan kembang api juga ikut menghiasi ritual penyambutan 1 Syawal 1435 H. Meskipun terdapat perbedaan dalam mengawali Ramadhan, namun hari raya tahun ini dilaksanakan secara bersamaan. Kementrian Agama RI selaku lembaga yang otoritatif bersama dengan ormas-ormas Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiyah bersepakat untuk menetapkan bahwa 1 Syawal 1435 H jatuh pada 28 Juli 2014, namun demikian di beberapa tempat, dengan pertimbangan tertentu justru memilih merayakan Idul Fitri pada 29 Juli 2014. Wallahu A’lam.

Esensi Idul Fitri

Dalam sebagian literatur disebutkan bahwa akar kata dari “ied” adalah ’aada-ya’uudu yang bermakna kembali. Sedangkan kata fitri diartikan sebagai fitrah yang bermakna suci. Dengan demikian muncullah pengertian bahwa Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian (fitrah). Pengertian ini melahirkan pemahaman bahwa pada hari Idul Fitri kaum muslimin akan kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan.

Sementara itu dalam literatur lain, dinyatakan bahwa istilah “ied” berasal dari kata al-‘aadah dengan bentuk jamak a’yaad yang bermakna hari raya. Adapun kata fitri berasal dari kata fathara yang berarti makan. Perpaduan kata “ied” dan “fithri” melahirkan makna hari raya makan. Dengan demikian Idul Fitri dimaknai sebagai hari raya untuk makan setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Menurut hemat penulis, perbedaan dalam memaknai Idul Fitri hanyalah perbedaan semantik dan pengunaan istilah saja, sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa Idul Fitri merupakan salah satu media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt dengan harapan kita akan menjadi insan yang berlabel muttaqin.

Silaturrahmi dan Ukhuwah Islamiyah

Di samping itu, hendaknya Idul Fitri menjadi momen bagi kita semua untuk kembali menyambung silaturrahim dengan sanak kerabat dan juga memperkuat ukhuwah Islamiyah dengan sesama muslim. Untuk sekedar memulihkan ingatan, bahwa sebelum Idul Fitri kita telah dihadapkan dalam agenda Pilpres untuk memilih pemimpin sebagai ulil amri yang akan memimpin negeri ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan Pilpres kali ini telah menyita perhatian seluruh elemen bangsa untuk terlibat aktif di pentas demokrasi tersebut, sebagai wujud kepedulian kita terhadap nasib bangsa dan negara. Pergesekan yang terjadi dalam pelaksanaan Pilpres adalah sebuah fenomena lazim yang sulit dihindari. Tuding-menuding, kecam-mengecam, sindir-menyindir, saling fitnah dan bahkan adu fisik – meskipun tak pantas telah pun terjadi. Namun sebagai seorang muslim, sudah saatnya adegan-adegan tak elok tersebut dihentikan.

Momen Idul Fitri sejatinya menjadi media untuk kembali merekatkan silaturrahmi dan merajut benang-benang persaudaraan yang selama ini mungkin telah “putus” atau “terpaksa putus” akibat perbedaan pandangan politik. Idul Fitri juga harus dijadikan sebagai wahana untuk kembali menumbuhkan ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam yang selama ini mungkin telah tercabik-cabik disebabkan terbelahnya kubu politik pada saat Pilpres. Mari kita melupakan slogan, jargon dan semboyan yang selama ini telah membuat kita saling bertegang urat saraf. Mari berjabat tangan dan berbagi senyum agar silaturrahmi dan ukhuwah Islamiyah tetap kekal dan abadi.

Menyambut Pemimpin Baru

Tepat pada tanggal 22 Juli 2014, KPU RI telah menetapkan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden RI terpilih yang insya Allah akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Senang tidak senang, sepakat tidak sepakat, takdir Tuhan harus diterima dengan lapang dada sebagai wujud ketundukan kepada takdir Allah yang merupakan salah satu pilar keimaman. Meskipun pada prinsipnya takdir dan ridha Allah adalah dua hal yang berbeda. Artinya tidak semua yang Allah takdirkan pasti Allah ridhai, demikian pula tidak semua yang Allah ridhai akan Allah takdirkan. Namun demikian, sikap tawakkal dan menerima takdir adalah sebuah kewajiban setelah sebelumnya kita melakukan ikhtiar.

Adapun sikap keberatan dan penolakan yang dilakukan oleh pihak Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa terhadap keputusan KPU merupakan sikap yang juga harus dihargai oleh seluruh elemen bangsa. Namun demikian, kita tidak perlu larut dalam ketegangan dan konflik berkepanjangan. Biarkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan yang terbaik sesuai dengan dalil-dalil hukum yang ada.

Terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden RI hendaknya mampu mempersatukan kembali anak bangsa yang selama ini mungkin telah terkotak-kotak dalam kubu politik. Semua pihak menaruh harapan besar kepada Jokowi-JK agar mampu merubah wajah Indonesia menjadi lebih baik. Janji-janji politik yang pernah ditabur pada musim kampanye harus mampu dituai dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian, segala bentuk tudingan dan keraguan yang pernah hinggap di hati sebagian rakyat Indonesia akan pudar dengan sendirinya.

Kita juga berharap agar presiden dan wakil presiden terpilih mampu melindungi segenap warga negara Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Berbagai bentuk kekerasan yang menimpa para TKI di luar negeri harus mampu diminimalisir sebagai bentuk menjaga marwah anak bangsa agar “tidak terjajah” di negeri orang. Kita juga berharap agar insiden tenggelamnya beberapa TKI asal Aceh yang terjadi beberapa waktu lalu tidak lagi terulang dan harus disikapi secara tegas oleh pemerintah ke depan.

Di samping itu, pemerintahan Jokowi-JK juga harus mampu menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri dan bebas dari berbagai bentuk intervensi asing yang dapat merugikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk maju. Kita juga berharap agar Jokowi-JK tidak perlu sungkan untuk mengadopsi berbagai gagasan cerdas, termasuk gagasan yang berasal dari mantan “rival politik” demi kepentingan masyarakat Indonesia. 

Harapan Umat Islam 

Adalah fakta yang sulit dibantah, bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, meskipun sebagian dari mareka berstatus “Islam Abangan”. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah baru untuk memperhatikan kepentingan umat Islam di Indonesia. Jangan sampai umat Islam menjadi tamu di negerinya sendiri. Berbagai statement yang menyakitkan umat Islam sudah semestinya dihentikan. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar berbagai tudingan yang pernah disematkan kepada Jokowi-JK selama musim kampanye tidak menjadi kenyataan. Mari bergandeng tangan menuju Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbul ghafur. Wallahul Musta’an.
loading...

No comments